Si mahasiswi menyentil-nyentil permukaan monitor sentuh laptop transformer yang telah dilepas dari keyboard-nya. Layar “tablet” ini sedang menampilkan explore Instagram. Entah berapa belas kali sehari kegiatan tersebut dilakukannya terutama manakala sedang nongkrong di Starbucks atau saat kuliah dosen membosankan. Sebelumnya hanya melalui ponsel, kini juga sesekali lewat Windows 10 di laptop.
Si mahasiswa sudah datang. Mahasiswi hanya melemparkan sedikit pandangan dari ujung mata dalam sepersekian detik, sebelum kembali terpaku ke layar.
“Udah lama say?”
“Hm.”
“Sori ya, supirnya tuh tadi bloon banget. Dari awal sampe akhir ada aja masalah. Pertama jemputnya salah posisi. Udah gitu plat nomor beda. Ngedumel pula katanya dia udah nunggu lama, ya mana aku tau dong kalo plat nomor gak sama? Trus tadi puteran depan kelewat coba! Padahal udah diingetin. Omo.”
“Ya, belum familiar daerah sini kali. Pesen minum dulu gih sana.”
“Aku ga dipesenin? Gak baca WA-ku?”
“Ga tau kamu WA.”
“Ya kalo ga diliat gimana bisa tau sayang?”
“Lupa tadi masih silent.”
Sesaat kemudian Mocha Frapucchino yang dipesan sudah bisa diambil.
“Terlalu manis ini, mbaknya gak ngikutin instruksi less sugar.”
“Lupa dibilang kali tadi.”
“Hari ini banyak lupa ya?”
“Plis deh, aku lagi capek. Jangan cari ribut dulu semenit aja bisa gak?”
“O em ji, aku bercanda han! Hei, kenapa lagi hari ini?”
Si mahasiswa meraih tangan kiri si mahasiswi. Tangan tersebut tetap lemas, tidak merespon maupun menepis. Mata si mahasiswi masih menatap layar, sebelum beralih memandang wajah si mahasiswa lalu ke meja.
“Aku gak apa-apa.”
“Ayolah, aku udah kenal banget kamu. Pasti lagi ada sesuatu kan.”
“Kalau kamu bilang ada, harus ada ya? Kamu lebih tau dari aku?”
“Oke, oke. Sori deh. Jadi gimana laptop barunya, suka?”
“Hm.”
“Ga berat kan? Dan sekarang dibawa tiap hari kan? Udah gak komplen tiap hari keberatan lagi kan?”
“Ia, mayan ringan. Tapi terlalu kecil.”
“Dibiasain ajalah, say. Temanku juga pake laptop 11-12 inci buat ngerjain segala macam, termasuk ngedit film. Buat dia oke kok.”
“Mungkin itu laptop kecil yang mahal, yang merek bagus.”
“Hahaha, dari kemarin nyinggung itu terus deh say. Aku sih ga keberatan beliin yang mahal, tapi kalo yang ini udah bagus, pilih yang murah aja kan? Apalagi beli laptop 2-in-1 kayak ini jadi seperti punya laptop juga sekaligus tablet.”
“Aku gak minta kamu beliin yang mahal kok. Aku juga gak minta kamu beliin yang ini malah.”
“Iya memang kamu ga minta, aku cuma kasian denger kamu ngeluh sejak ambil S2 ini kecapean, banyak tugas, ditambah lagi kadang-kadang kerepotan karena laptop ketinggalan.”
“Kalau aku cerita, bukan berarti aku minta dibelikan sesuatu. Mendengar dan mengerti aja, cukup. Itu pasangan yang baik, yang mengerti pasangannya. Bukan apa-apa diartikan ke materi.”
“Jangan gitu han. Aku dengerin dan ngertiin kamu kok. Justru aku coba memberi solusi.”
“Kalo aku minta solusi, aku bakal ngomong ke kamu. Ini tandanya kamu memang gak ngerti.”
“Udahlah say, gak usah dipermasalahkan. Kalo kamu ga suka laptopnya, ga usah dipakai. Pakai yang lama aja. Kenapa harus ribut?”
“Ribut? Aku ngomong baik-baik gini kamu bilang ribut?”
“Bukan begitu, kamu seolah-olah menyalahkan aku karena membelikan kamu laptop.”
“Kamu yang tadi minta harus ada sesuatu masalah kan?”
Si mahasiswa tidak membalas ujaran si mahasiswi. Ia mengeluarkan hape dari saku, lalu mengecek pesan. Tak berapa lama kemudian.
“Nyebat yuk?”
“Aku abisin minum dulu.”
Di pelataran dekat pot-pot bunga taman, dua orang sedang menghabiskan rokok mereka. Mula-mula tanpa banyak bicara.
“Kamu belum ngasih aku jawaban say.”
“Jawaban yang mana?”
“Yang mana lagilah.”
“Aku belum bisa ngasih jawaban.”
“Kapan bisanya?”
“Ga tau.”
“Kok begitu say? Kamu ga mau nikah sama aku?”
“Bisa ga, ga usah bahas masalah ini dulu? Atau, ga usah dibahas sama sekali.”
“Kenapa?”
“Bisa ga, ga usah tanya kenapa?”
“Plis say. Mamaku butuh kejelasan.”
“Itu salah satu masalahnya, apa hubungannya sama mamamu? Yang mau nikah siapa sebetulnya?”
“Ya aku. Kita. Tapi kan aku perlu ngasih tau mama supaya bisa nyiapin semuanya.”
“Kalo kamu belum bisa mandiri, butuh mamamu untuk ini dan itu, kamu belum siap jadi kepala rumah tangga.”
“Bukan begitulah say. Aku rasa aku udah siap. Aku juga ada tabungan. Tapi Mama kan jadi penyandang dana juga, dia minta jadwal supaya bisa booking gedung. Dia itu mirip kamu say, maunya yang mahal padahal belum tentu yang mahal itu bagus, belum tentu yang mahal itu cocok.”
“Coba sekali lagi?”
“Apa?”
“Bilang aku mirip mamamu.”
“Kenapa? Memang kalian mirip kok.”
“Kenapa gak nikah sama mamamu aja? Aku udah capek, kamu itu benar-benar gak punya perasaan.”
“Maaf say, kidding! Aku tau kok gak ada cewe yang mau disebut mirip sama emak-emak.”
“Sudah tahu sesuatu yang tidak pantas, yang tidak seharusnya diucapkan. Tapi tetap diucapkan. Sesuatu yang tidak pantas dilakukan, tapi tetap dilakukan. Apa ini sifat laki-laki yang baik? Yang bertanggung jawab? Yang siap jadi kepala rumah tangga?”
“Iya sayang, aku mengaku salah.”
“Pulang yuk.”
“Ga sayang, aku perlu jawaban.”
“Oke. Jawabannya tidak.”
“Serius?”
“Kamu yang minta kan.”
“Aku gak ngerti. Pasti karena dia kan?”
“Dia siapa?”
“Tolong jangan pura-pura bego. Kamu selingkuh sama dia?”
“Plis, Ton.”
“Kalo memang kamu berat ke dia, aku gak bisa ngomong apa-apa lagi. Tapi tolong jujur, katakan ke aku, sebetulnya aku salah apa ke kamu? Kurang apa aku, sampai kamu rela mengorbankan hubungan yang sudah kita bina ini demi seseorang seperti dia?”
“Sekali lagi, tolong jangan bawa-bawa orang ketiga yang gak relevan di sini.”
“Oh, kamu juga bela dia di depan aku?”
“Tolong Ton, aku mohon. Aku jujur, demi Tuhan aku gak pernah selingkuh. Aku sayang kamu, aku menghargai hubungan ini. Tapi aku masih belum yakin sama sekali. Aku belum siap.”
“Apa yang bikin kamu gak siap? Apa yang ada di diriku yang kamu gak sreg, yang kamu gak suka? Apa yang perlu aku ubah?”
“Kamu ga perlu berubah. Berubah demi orang lain itu sesuatu yang salah.”
“Jadi memang ada yang kamu gak suka? Apa? Aku bersedia berubah.”
“Ga ada. Pada dasarnya kita memang berbeda, butuh effort banyak untuk bisa disatukan.”
“Justru itu, karena kita berbeda, masing-masing harus berubah menyesuaikan diri. Aku ngerti, berubah tabiat atau karakter itu sesuatu yang sulit bahkan hampir mustahil. Tapi semua bisa dilakukan perlahan-lahan, apalagi jika memang rasa sayang itu ada. Seperti yang kita lakukan selama ini. Sejak kenal kamu dua tahun lalu, sedikit atau banyak tanpa aku bahkan kamu sadari juga, aku udah berubah. Kalau memang harus berubah lagi untuk menyenangkan pasangan, agar bisa cocok hidup bersama ke depan, kenapa tidak. Sudah berubah, tinggal meneruskan perubahan saja. Kamu gak setuju?”
“Aku gak bilang begitu.”
“Jadi, kamu setuju?”
“Aku juga ga bilang begitu. Kamu maksa banget ya orangnya.”
“Soalnya kamu ngeles banget orangnya. Harus dong maksa itu, buat bisa dapetin kamu. Buat bikin kamu tetap bersama aku.”
“Manis banget mulutnya.”
“Semanis orangnya. Jadi sayang, malam ini aku gak akan maksa kamu untuk jawab ya atau tidak. Kalau kamu belum siap, aku tunggu sampai kamu siap.”
“Aku sarankan jangan menunggu deh. Menunggu itu paling gak enak. Dan belum tentu berakhir sesuai yang diharapkan.”
“Gapapa. Aku rela. Kalaupun ternyata nanti kamu tetap bilang tidak, aku ikhlas.”
“Aku jadi ga enak kalo gitu.”
“Makanya, bilang iya sekarang.”
“Enak aja.”
“Nah gitu dong, senyum dikit kenapa.”
“Iyaaaa, nih aku ketawa sekalian. Biar dikira gila.”
“Sayang, kita pulang yuk.”
Si mahasiswi terlihat bingung.
“Bentar, laptopku mana ya?”
“Itu?”
“Keyboard-nya maksudnya. Tadi aku tinggal di Starbucks kayaknya.”
“Kok kamu ceroboh gitu sih say?”
“Aku gak biasa pake 2-in-1 begini.”
“Makanya kalo dilepas, keyboard-nya langsung masukin tas dong.”
Mereka bergegas kembali ke tempat duduk mereka sewaktu di Starbucks. Barang yang dicari sudah tidak ada. Bertanya ke petugas pun ternyata tidak ada yang tahu.
“Tuh kan, kejadian lagi. Begini nih yang aku bilang mirip mama.”
“Kamu sengaja bikin aku marah ya?”
“Kok kamu yang marah? Bukannya kamu harusnya yang bilang sori atau maaf.”
“Maaf untuk apa? Maaf karena aku dengan sengaja udah menghilangkan laptop murah ini, dengan tujuan supaya dibelikan lagi laptop mahal? Maaf karena orang yang katanya mengerti aku, malah maki-maki aku di depan umum? Maaf karena aku sudah percaya pada janji orang yang mau berubah padahal tahu janji itu hanyalah omong kosong semata?”
“Kenapa harus bawa-bawa harga laptop murah lagi sih?”
Si mahasiswa bergegas meninggalkan si mahasiswi, barangkali masih berharap untuk bisa mencari keyboard yang hilang. Si mahasiswi pun keluar tapi masuk ke restoran. Setelah duduk, meletakkan tablet dan berkata pada waiter, ia menunggu sambil mengeluarkan HP. Dibukanya Whatsapp lalu dikirimkannya sebuah pesan pada seseorang. Laki-laki. Layar tablet yang kini menyala masih menampilkan aplikasi Instagram. Dalam amarahnya, sempat tebersit dalam pikiran untuk menghapusi foto-foto kebersamaannya dengan si mahasiswa di timeline.